Suku Toraja
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Toraja
|
Anak perempuan Toraja
pada upacara pernikahan
|
Jumlah populasi
|
650.000[1]
|
Kawasan dengan populasi yang signifikan
|
Toraja-Sa'dan, Kalumpang, Mamasa, Ta'e,
Talondo' dan Toala'.
|
Kelompok etnik terdekat
|
Suku Toraja adalah suku yang
menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya
diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih
tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, danKabupaten Mamasa.[1] Mayoritas suku
Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian
menganut Islam dan kepercayaananimisme yang dikenal
sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui
kepercayaan ini sebagai bagian dariAgama Hindu Dharma.[2]
Kata toraja berasal
dari bahasa Bugis, to riaja,
yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belandamenamai suku ini Toraja pada
tahun 1909.[3] Suku Toraja
terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran
kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting,
biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20,
suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan
belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah
semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja
menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh
pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.[4] Masyarakat
Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat
berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas
beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus
meningkat.[5]
Identitas etnis
Suku Toraja memiliki
sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis
sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa
pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali
berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun
ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman
dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran
tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir to,
yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali
digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran
tinggi.[3] Akibatnya, pada
awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan
orang luar—seperti suku Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni
sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di
dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di
dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan
Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja.[4] Sejak itu,
Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (meliputi
pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar
(pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran
tinggi).[6]
Sejarah
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin,
terletak antara Vietnam utara
dan Cina selatan,
adalah tempat asal suku Toraja.[7] Sebetulnya,
orang Toraja hanya salah satukelompok penutur bahasa
Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di
wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai
menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah
(tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit
lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya
penyebaran Islam di
Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat
suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk
dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai
dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda.[2] Selain
menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak
daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja
awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang
mengklaim wilayah tersebut.[8] Pada
tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja statusregentschap, dan
Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.[2]
Misionaris Belanda yang baru
datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur
perdagangan yang menguntungkan Toraja.[9] Beberapa
orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar
lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan
untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian,
usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit
orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.[10] Pada
tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.[9]
Penduduk Muslim di dataran
rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang
ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan
perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap
orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965
setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat
pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam,
yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya
yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak
orang Toraja berpindah ke agama Kristen.[11]
Pada tahun 1965, sebuah dekret
presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari
lima agama yang diakui: Islam,
Kristen Protestan, Katolik,Hindu dan Buddha.[12] Kepercayaan
asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya
menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima
sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Masyarakat
Keluarga
Sebuah perkampungan suku Toraja
Keluarga adalah
kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu
keluarga besar. Setiap tongkonanmemiliki nama yang dijadikan
sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan
sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang
memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan
sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk
mencegah penyebaran harta.[13]Hubungan kekerabatan
berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling
menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang.
Setiap orang menjadi
anggota dari keluarga ibu dan ayahnya.[14] Anak, dengan
demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan
utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya
dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan
sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya
pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten
Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya
sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa
menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok;
kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan
antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah
leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan
babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik
dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam
hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang
membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau
tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan
potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.[15]
Kelas sosial
Dalam masyarakat
Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan
kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan
budak (perbudakandihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu.
Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah
tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Ini
bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap
merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga
saat ini karena alasan martabat keluarga.[5]
Kaum bangsawan, yang
dipercaya sebagai keturunan dari surga,[16] tinggal di tongkonan,
sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu
yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di
dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh
menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam
keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang
mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status
keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat
memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan
jumlah kekayaan.[13]Kekayaan dihitung
berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat
Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi
budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak
bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa
membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak.
Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang
sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan
merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
Agama
Sistem kepercayaan
tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang
disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai
"hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga
dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara
berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.[17] Alam semesta,
menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia
(bumi), dan dunia bawah.[9] Pada awalnya,
surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul
cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk
persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat
manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana.
Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa
bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong
Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi
pengobatan), dan lainnya.[18]
Kekuasaan di bumi yang
kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam
upacara pemakaman, disebut to
minaa (seorang pendetaaluk). Aluk bukan hanya
sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan
kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik
pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda
antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan
bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa
ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan
ritual kehidupan.[19] Kedua ritual
tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak
diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan
melakukan ritual kematian.[10] Akibatnya,
ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan
sudah mulai jarang dilaksanakan.
Kebudayaan
Tongkonan
Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah
tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran
berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari
bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan
pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan
sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua
anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan
mereka dengan leluhur mereka.[15] Menurut cerita
rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika
leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar
upacara yang besar.[20]
Pembangunan tongkonan
adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga
besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan
tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan
pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu
dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga
biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan
semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang
menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang
biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar
Ukiran kayu
Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.
Bahasa Toraja hanya
diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.[21] Untuk
menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan
menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena
itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama
khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang
melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan
seperti kepiting dan kecebong yang
melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja,
terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan,
sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah
melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga
akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan
dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan
kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak
di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian
tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan
ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di
bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering
digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi
dan geometri yang teratur.[21] Ornamen Toraja
dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan
mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya
berdasarkan taksiran mereka sendiri.[21] Suku Toraja
menggunakan bambu untuk membuat
oranamen geometris.
Upacara pemakaman
Tempat penguburan Toraja yang diukir.
Dalam masyarakat
Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya
mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya
akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawanyang berhak menggelar
pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri
oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi
pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah
padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai
tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh
keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan
dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi
semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang
kelas rendah.[23]
Upacara pemakaman ini
kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan
bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga
yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi
biaya pemakaman.[24] Suku Toraja
percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi
merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya(dunia arwah,
atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan
beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya
tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan
melakukan perjalanan ke Puya.[25]
Sebuah makam.
Bagian lain dari
pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa
seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan
dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau,
termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang
dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan
kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika
ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusanbabi merupakan puncak
upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap
darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan
kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada
keluarga almarhum.[26]
Ada tiga cara
pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir,
atau digantung di tebing. Orang kaya
kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan
waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu
digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang
disebut tau taubiasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar.[27] Peti mati bayi
atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya
bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan
tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari
untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati
arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju
akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu
sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong).[6][26] Ritual tersebut
dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.[23] Pada hari kedua
pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji
keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian
dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai
ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika
jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara
pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil
bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan
untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah
penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk
tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat
agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen.
Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan
ketika suku Toraja sedang menumbuk beras[28] Ada beberapa
tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh
pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh
perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah
tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun
sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika
pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional
Toraja adalah suling bambu yang
disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak
tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan
bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari
panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang
dibuat dari daun palem dan dimainkan
pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.[29]
Bahasa
Bahasa Toraja adalah
bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa
yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat,[1] akan tetapi
bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara
lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' ,
dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasaAustronesia.[30] Pada mulanya,
sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam
bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja,
beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui
proses transmigrasi, yang diperkenalkan
sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam
bahasa Toraja.[6]
Keragaman dalam bahasa Toraja
|
|||
Denominasi
|
Populasi (pada tahun)
|
Dialek
|
|
Kalumpang
|
12,000 (1991)
|
Karataun, Mablei,
Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
|
|
Mamasa
|
100,000 (1991)
|
Mamasa Utara, Mamasa
tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
|
|
Ta'e
|
250,000 (1992)
|
Rongkong, Luwu Timur
Laut, Luwu Selatan, Bua.
|
|
Talondo'
|
500 (1986)
|
||
Toala'
|
30,000 (1983)
|
Toala', Palili'.
|
|
Torajan-Sa'dan
|
500,000 (1990)
|
Makale
(Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).
|
|
Sumber: Gordon (2005).[30]
|
Ciri yang menonjol
dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya
upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan
perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.[23] Bahasa Toraja
mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan
tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang
Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa
kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk
mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja
bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng
gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkongdan jagung. Banyak waktu dan
tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan
terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.[11] Satu-satunya
industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde
Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada
investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambanganMultinasional membuka usaha
baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang
berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi keKalimantan untuk kayu dan
minyak, ke Papua untuk menambang,
dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.[2]
Ekonomi Toraja secara
bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984
dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu
wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi
Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik
agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis.
Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini
terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.
Komersialisasi
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah
salah satu tempat wisata di Tana Toraja.
Sebelum tahun 1970-an,
Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50
orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis
menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di
Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa
tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara
Eropa.[2] Pada 1976,
sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja
dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara.[31] "Tanah
raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran,
telah menarik minat dunia luar..
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata
Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai
"perhentian kedua setelah Bali".[5] Pariwisata
menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan
asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik),[4] dan jumlah
pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989.[2] Suvenir dijual
di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang
dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.[15]
Para pengembang
pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki
kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi
desa zaman batu dan pemakaman purbakala.
Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin
melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh".[2] Tetapi suku
Toraja merasa bahwatongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya
telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut
terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara
masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar
oleh suku Toraja.[4]
Bentrokan antara para
pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai
pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa
Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata".
Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya
orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. Hal
tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa
bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya,
pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa
desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu
mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja
karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari
penjualan suvenir.[4]
Pariwisata juga turut
mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan
rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak
mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang
diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang
ketat,[5]sehingga status
kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa
dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara
memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.
Filosofi Tau
Secara sadar atau
tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat
yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah
menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya
dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang
mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi'
(Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai
luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara
bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara
bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah
memiliki dan hidup sebagai Tau.
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja