Pertengahan bulan November ini, bulan yang akan selalu aku banggakan karena aku sering bersamamu walau kau sendiri tidak tahu aku selalu ada untukmu. Awan yang melintas berwarna kelabu suram. Rintik demi rintik setiap bulir air mulai turun membasahi muka bumi. Membasahi setiap tempat yang meski menurut beberapa orang, tak akan terjamah air hujan.
Aku hanya menatap setiap titik air itu turun dari balik jendela kaca. Melihat hampa seraya bertopang dagu, tanpa merasa bosan dan lelah. Air hujan terus bergulir dari datarnya kaca jendela. Meninggalkan jejak air yang berderai. Hingga dirimu mulai memasuki ruang kelas dengan bagian sepatumu basah dan itu membuatku menoleh ke arahmu. Lalu kau melangkah menuju bangku kosong yang berada di sebelah kananku dan menaruh payungmu di bawah kursi kayu. Kau menatap ke arah bangkuku, tersenyum kecil di antara tatapan sendu itu.
“Kau kehujanan ya?.” Tanyaku.
Tapi kau tidak menjawab. Malah kau membuang muka dan kembali berbicara dengan beberapa teman perempuanmu. Aku sudah tahu dan aku memaafkanmu. Aku hanya bisa tersenyum.
“Kenapa tidak pakai jaket? Kan dingin?.” Tanyaku lagi.
Kau diam menatap lurus. Tak menjawab.
Bel berdering keras, membuat sebagian murid beringsut dan kembali ke bangku mereka. Guru wanita yang sangat aku rindukan melangkah masuk dan duduk di meja guru dengan tenang. Beliau mulai memeriksa kehadiran para siswa-siswinya. Namamu mulai terdengar, “Kasih Katarina.” Kau mengangkat tanganmu, seperti biasa.
Lalu tak lama, “Sonya Wangsah.” Namaku diseru oleh guru wanita itu. Aku juga mengangkatkan tanganku lalu tersenyum sekenanya.
Namun yang lain melihatku miris dan suasana kelas menjadi hening, tanpa ada gerak sedikit pun. Guru itu lantas menyerukan nama siswa lain. Aku sedikit bernapas lega. Pada kenyataan, dirimu juga menatapku. Matamu ikut berbinar, seperti senyumku. Tapi bukan berbinar senang. Ceruk matamu menahan lara. Aku ikut bersedih melihatmu. Tapi, pada kenyataannya aku kembali.
“Kita lanjutkan pembahasan minggu lalu, kemarin ibu juga belum sempat menyampaikan catatan penting.. coba kalian buka buku tulis kalian.” Titahnya di depan kelas.
Aku diam, tidak melakukan apa yang disuruhnya. Ia, guru itu. Melihatku dalam diam tanpa memarahiku, ia kembali berceloteh di depan muridnya. Aku diam. Diam. Terus diam sepanjang jam sekolah telah dimulai. Lagipula, tak akan ada yang memarahiku.
Jalanan setapak batu itu becek dan licin. Aku melangkah dengan waspada, siapa tahu kakiku tak sejalan sama dengan pikiranku. Sepanjang jalan setapak itu, semak belukar kecil menghiasi. Sesekali titik embun turun dari ujung daun itu. Ketika aku menemui sebuah pohon kayu berlengan kuat, aku segera berlari ke bawah naungan dedaunan rimbun miliknya.
Rintik kecil air kembali turun. Aku mendengus pelan, kesal. Namun rintik itu hanya sebentar. Aku kembali mengayunkan kedua kakiku. Dan kembali diam di tepian jalan. Aku sudah berjanji sama dengan janjimu. Tapi kenyataannya, kau tidak berjanji.
Aku berjalan di lorong beratapkan plafon yang rapuh beralaskan marmer berwarna gelap, melewati beberapa murid. Junior maupun senior. Seorang murid senior berjalan pelan ke arahku dengan gaya tersendiri. Tak sengaja bahuku menyapa bahunya. Itu kan tidak sengaja. Tapi aku tidak berkelit. Aku langsung meminta maaf, namun dia tolak. Sentakan-sentakan itu terus bergulir menghujam telinga dan diriku. Aku diam.
Kulihat, dari balik punggung si senior, dirimu hanya diam. Tak bergerak atau berucap. Itu bukan janjimu. Apakah kau munafik?. Kurasa tidak. Karena setelah itu kau berjalan menghampiriku.
Berjalan melaluiku.
“Junior enggak tahu malu!.” Bentak dia, seniorku.
Aku tersentak kaget. Dirimu ikut terkejut.
Aku hanya menunduk dan setelah kejadian itu semua berakhir, aku kembali berjalan membalik. Kau masih diam di ambang pintu kelas. Mata kita bertemu tatap, aku tersenyum padamu, tentu. Tapi kau nampak terkejut dan langsung melangkah masuk ke kelas.
Kau memilih berjalan pulang sendiri dengan awan kelabu menggantung. Dengan dua payung di dirimu. Satu payung mengembang di tangan kirimu. Satu payung kau simpan. Aku miris melihat sikap diammu.
Kau pergi.
Cukup lama aku berdiri memeluk diriku, di bawah pohon ini. Menanti karena ucapanmu, “Tunggulah aku di jalan yang sering kita lalui.”
Memang, ini jalan yang sering kita lalui tapi dulu. Ketika kata ‘diam’ tidak ada di hatimu. Aku melihat ujung sepatu hitamku, basah kuyup dengan sedikit noda tanah mengotori.
Aku tidak lagi basah. Aku tidak dingin. Aku menengadahkan kepalaku. Kau, dirimu berdiri dengan satu payung di tangan kirimu yang mengembang dan satu payung merah kau apit di lengan kananmu.
“Maaf, aku terlambat.” Lalu kau julurkan tangan kananmu dan kau berikan payung merah itu padaku. “Hanya ingin memberimu payung agar tidak kehujanan.”
– terlambat.
Aku sudah basah kuyup dan dingin.
Tapi tak ada guna aku marah. Senyumku terpatri untukmu. “Tak apa, akan kupakai. Terima kasih.” Hanya itu yang bisa ku katakan.
Kau kembali menggerakkan kakimu, kembali berjalan. Membelakangi diriku. Kau meninggalkanku. Walau payung merah ini sudah tak berguna, aku tetap memakainya. Aku melangkah pelan hingga rasanya aku sudah berada di ujung jalan, berlawanan dengan pohon besar itu. Melewati jalanan beraspal yang nampak sepi, kala itu.
Tapi aku tidak tahu, setelahnya. Setelah jiwaku meninggalkan ragaku, seketika. Pada hari itu. Dan payungmu, terbang dan terbuang entah kemana ia pergi. Aku hanya diam menutup mata pada waktu itu.
Itu kejadian lalu, di masa laluku.
Kini aku hanya berdiri diam di bawah pohon itu. Setelah setahun, tak melihatmu. Aku hanya kembali menaruh benda itu. Tadi, ketika aku di kelas pada hari baru ini. Ternyata namaku masih disebut. Begitu sayangkah, guruku?. Lalu apa kau rindu padaku?. Kurasa tidak. Karena kau hanya diam. Diam merindu diriku.
Aku berjalan kembali, menjauhi pohon besar itu. Berjalan ke arah persimpangan yang panjang dan sepi. Dimana seharusnya aku ada disitu.
Aku hanya menaruh, payung merahmu pada kaki pohon itu. Walau sedikit usang dan robek. Kurasa kau bisa memakluminya. Jika aku bisa berpesan, “Jangan rindukan aku, jika kau tidak ingin bersalah di kemudian hari.”
Aku pergi kembali. Selamanya.
Kau sedikit terkejut melihat payung merah itu. Tanpa kau sadari pelupuk matamu tak dapat lagi menahan derai air matamu. Itukah rindumu?.
Apa aku boleh berkata ‘Maaf, kau terlambat.’? Tidak. Aku tidak seburuk itu. Kau temanku. Kau boleh marah padaku, tapi aku tidak bisa marah padamu.
Apa aku boleh berkata ‘Maaf, kau terlambat.’? Tidak. Aku tidak seburuk itu. Kau temanku. Kau boleh marah padaku, tapi aku tidak bisa marah padamu.
Karena kau teman terbaikku.
THE END
Cerpen Karangan: Luwina
http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/payung-merah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar