Jumat, 10 Januari 2014

True Friend

Sepi rasanya ketika sahabat yang menjadi sandaran jiwa, pergi meninggalkan kita. akan ada ada pula rasa kehilangan tatkala dia tidak mau mengenal dan berelasi lagi dengan kita. Bahkan terasa pahit saat sahabat yang dulu baik bagaikan malaikat, kini menjelma menjadi seorang yang tidak berperasaan. Tapi apakah masih bisa dinamakan sahabat? apakah masih sahabat jika keberadaanku dianggapnya hanya sebuah hiburan? Aku tidak sekedar dari sebuah proyek yang ketika berjaya dan semua orang mengakui eksistensiku, ia ada di sampingku. Tapi ketika aku rapuh dan terpuruk, ia mencaci dan mencampakkanku bak onggokan sampah tak berguna…

“jangan sok perfect, deh…!” Dona begitu saja menghujamkan kata-kata itu. Membuatku terkesiap, dan tak lagi berselera dengan makanan yang ada di hadapanku. Tenggorokanku tecekat, mataku panas menahan tetesan-tetesan keperihan. Kata-kata Dona bagaikan angin di musim dingin, demikian lincah meliuk-liuk memasuki rongga pendengaranku. Dona melangkah meninggalkanku, hening.
Kini aku seperti tersesat di labirin tak bertepi. Setiap hari hanya bermuram dengan kenangan yang aku sendiri telah kehilangan jejaknya. Dingin musim hujan kurasakan bagai terik kekeringan di padang pasir yang mengharapkan oase.
Pukul 15:10. Langit telah kelabu, awannya bergelung-gelung tersapu angin. Suasana yang begitu khas di musim ini. Aku masih terpekur berdiri di pinggir jalan di sebuah perempatan. Beberapa kendaraan umum yang berlalu lalang sesekali menawarkan tumpangan. Namun kutolak karena aku masih malas untuk pulang. Aku merasa tak banyak yang bisa kulakukan di rumah selain mengurung diri di kamar. Pfiuhh… sebentang gerimis pun terberai dari langit. Disusul hujan yang berdesing melindap alam raya ini. Aku sendiri belum beranjak dari pijakanku, berteduh di depan sebuah kios fotokopi, saat tiba-tiba seseorang dengan jaket yang agak lepek menghampiriku…
“ehmm…” Azmi menyapaku. Aku melengos menahan senyum yang enggan kutampakkan padanya.
“kenapa, sih.. lagi ada masalah ya? Sharing aja lagi…” mata Azmi bergerak-gerak seperti mencari sesuatu. Tapi aku tetap tidak menghiraukan kata-katanya.
“jelek tuh kalau cemberut gitu, anggra?! anggra jelek…” Azmi meledek. Ada kemistri tidak tepat yang menghantam pikiranku. Membuatku ingin meledak di depannya. Aku hanya tersenyum miris, iba dengan kepolosan Azmi. Sahabatku yang paling tulus itu malah sering kuabaikan. Aku memang tidak tahu diri. Mengukir keburukan sahabat di atas batu, sedang mengukir kebaikannya di atas air.
“pulang kuliah?” tanyaku akhirnya. Azmi tersenyum mengangguk.
“kamu sendiri dari mana?”
“dari sanggar kerja…” Jawabku datar.
“ehh.. udah mau ashar, aku duluan, ya! Nanti sharingnya lewat sms aja, hehehe…” Azmi berlalu dengan sekilas senyum yang hangat. Kupandangi langkahnya hingga menghilang di balik jendela sebuah kendaraan umum.
Pukul 20:40. Kilat dan petir masih mengisyaratkan hujan takkan reda seketika malam itu. Perlahan lagu-lagu melankolis Opick mengalun dari winamp di laptopku. Tanpa sadar tanganku membuka file foto-fotoku saat SMA. Ada Dona yang tersenyum lebar sambil merangkul pundakku. Tapi aku sangat kenal, itu adalah Dona yang dulu. Yang pernah menjadi sahabat dekatku dan telah mengenalkanku pada banyak hal. Ia berubah semenjak aku menduduki posisinya di perusahaan sebuah majalah tempat kami bekerja. Dona diturunkan jabatannya lantaran ia pernah absen selama tiga minggu dari pekerjaannya tanpa alasan, bahkan ia tidak mau menceritakan apa masalah yang menimpanya. Mungkin ia tersinggung hingga semenjak itu ia bersikap acuh dan sinis padaku. Dan mungkin juga tadi siang adalah kata-katanya yang kudengar terakhir kali. I am quite. Aku ingin fokus di sanggar penulisan.
Handphoneku berdering dengan tune sms. Aku terkesiap membaca tulisan yang tetera di layarnya.
- assalamu alaikum ukhtiy… dah sholat isya? Pengirim: azmi.
Aku tak bisa untuk tidak membalas kali ini. Aku sadar belakangan ini sudah terlalu sering aku mengabaikan sahabat lamaku ini.
- waalaikum salam. Udah
- ya udah tenang aja! Jangan bad mood terus, selama ada sahabat kayak aku yang udah biasa jadi penampungan masalah…
- yah… sayangnya masalah-masalahku udah ditumpahin semua di kening sajadah
- bagus tuh… Dia kan Penghandle paling bijak?
- yoi.. eh mi, kenapa, sih kita harus membutuhkan sahabat?
- sahabat kan kayak “sampoerna ijo”: gak ada loe gak rame! Karena kalo udah sama sahabat bisa kayak XL: segala-galanya segila-gilanya… keberadaan sahabat sering seperti “mizone” membuat kita: be 100%. Pokoknya kayak “chitato” banget, deh: life is never flat…! Makanya selalu bareng sahabat bikin hidup terasa seperti “beng-beng”: asyiiik beratz.. iya gak?
- hakshakshaks… lagi jualan buu?
- maklum putri iklan… tapi nggra, sebenarnya punya sahabat itu bukan tujuan hidup kita. Kita harus tetap kuat dan tegar meski sahabat kadang gak bisa di samping kita. Asalkan kita selalu dekat dengan Dzat yang menguatkan kita
Aku terhenyak membaca sms Azmi. Ia benar…
- anggra… by the way kerudunganku yang warna krem masih sama kamu kan? Balikin donk…
- iya ada. Ntar ana anterin, deh…
- alhamdulillah.. lagian yang namanya anggra pake kerudungnya Britney spears juga masih tetep jelek kok…
- udah tau jelek masih jealous aja!
- yaaa coz sampai sekarang aku belum bisa ngalahin jeleknya kamu, hehehe…
- bagus, deh… mi kapan libur?
- ada, deh… nggra ntar kerudungnya anterin pagi ya
- yupz insya allah!
Sepuluh menit berlalu. Tak ada lagi sms yang masuk. Hujan perlahan reda, menyisakan suara gemeletuk di atap rumah. Aku tertegun, semua pelajaran seolah tercerna sudah. Seperti Sang Maha Baik telah memprogram semua di sekenario kehidupanku. Bahwa setelah seseorang pergi dari hidupku, seorang lagi merangkulku dengan cinta dan ketulusan.
Sudah tidak terlalu pagi, saat aku berangkat ke sanggar hari ini. Meski kurasa ini lebih awal dari biasanya. Karena aku harus ke rumah Azmi untuk mengembalikan kerudungnya. Mendung begitu nyaman di kening cuaca. Gemawan yang nyaris menutupi langit dan mentari yang hangat, serta daun-daun yang tersibak angin tak henti berguguran.
Aku tiba di depan rumah azmi yang sepi. Aneh, seperti tak berpenghuni. Aku mencoba mengetuk pintu, “assalamu alaikum…” Hening. Tak ada jawaban. Hanya riuh angin yang menyeret dedaunan. Aku mengulangi salamku. Tetap tak ada jawaban. Mataku mencari-cari ke sekeliling. Mungkin ada petunjuk apakah ada orang di rumah ini atau tidak. Tapi sesuatu menarik pandanganku. Sebuah amplop putih yang diselipkan di pohon bonsai di bawah jendela depan. Perlahan kubuka amplop surat itu..
Assalamu alaikum wr.wb.
Anggra sahabatku, maaf tidak bisa menemuimu hari ini. Kerudungnya biar menjadi kenang-kenagan saja. Maaf juga selalu bohong kalau kamu jelek. Aku hanya terkagum pada keanggunanmu yang selalu kamu balut dengan kerudung dan kerendahan hati.

Anggra sahabatku, ayahku meninggal tadi malam karena kecelakaan. Pemakamannya selesai tadi pagi. Aku terpaksa menghentikan langkahku untuk kuliah sampai di sini. Dan hari ini juga aku pindah bersama ibu dan adik-adikku ke kampung halaman di Lhokseumawe. Be strong friend! All things can be better when you change yourself to be better…
Wassalamu alaikum wr.wb.
Bogor, 24 september 2010
Yours,
Azmi Maulidya
Wangi mawar-mawar merah jambu yang ditanam di halaman menyemerbak, berhembus bersama guguran kelopaknya. Mengiringi tetesan air mataku yang membasahi surat Azmi. Kenyataan yang harus kuterima ini sudah cukup membuatku sadar, aku harus kuat. Yang Maha Baik telah menguatkanku lewat hamba-hambaNya yang hebat. Yang selalu bisa memberiku pelajaran berharga, yang ikut menata mozaik-mozaik dalam puzzle hidupku. Thanks Allah.
For my sweetheart in 6 NSP1. Accompanies a lot of thanks and tons of sorry. When you are wishing to be someone else, someone else in somewhere is wishing to be you..
Cerpen Karangan: Imam Nur Hidayat
Blog: Imamnurhidayat2.blogspot.com
http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/true-friend.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar