Jumat, 10 Januari 2014

Asal-usul Wayang Golek secara singkat

Banyak yang menyangka bahwa seni wayang golek berasal dari India. Namun, dalam buku pengenalan wayang golek purwa di Jawa Barat, R. Gunawan Djajakusumah membantah hal ini. Menurut beliau wayang golek adalah budaya asli yang dikembangkan masyarakat Indonesia. Mungkin saja didalamnya ada akulturasi dengan pengaruh budaya lain.

Perkataan wayang berasal dari “wad an hyang”. Artinya leluhur. Akan tetapi ada juga yang berpendapatan yaitu dari kata “boyangan", mereka yang berpendapatan bahwa wayang berasal dari India, nampaknya melihat dari asal ceritanya yaitu mengambil dari cerita Ramayana dan Mahabarata berasal dari kitab suci Hindu, tetapi selanjutnya cerita-cerita itu diubah dan disesuaikan dengan kebudayaan Jawa.

Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangunan wayang purwa sejumlah 7 buah dengan menarik cerita menarik yang diiringi gamelan salendro. Pertunjukannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyeruai boneka yang terbuat dari kayu, bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit. Jadi seperti wayang golek oleh karena itu disebut sebagai wayang golek.


Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah cerita panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon wayang golek ini ada sejak masa Panembahan Ratu Cicin Sunan Gunungjati (1540-1640). Disana didaerah Cirebon disebut wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pda jaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lokn yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Sumatri, 1988).

Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karangayar (Wiranta Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayangkulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru Ujungberung untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit.

Namun, pada perkembangan selanjutnya atas anjuran Dalam Ki Darman membuat wayang golek yang tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menguhubungan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa namun setelah orang Sunda pandai mendalang bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.

Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, sehingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif dikepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini wayang menjadi lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang digunakan dalam wayang ada 4 yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.

Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengembangkan kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan “sapta sila kehormatan seniman seniwati pedalangan Jawa Barat”. Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Ferbuari 1964 di Bandung.

Sumber : Tim Citizen Journalist (Cecep Heryadi, Usman S., Adbi Halim, Tepi M/dari berbagai sumber) Pikiran Rakyat 
Sumber : http://blog-urangsunda.blogspot.com/
Kebudayaan  SUMATERA UTARA
Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur, Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 71.680 km².
Sumatra Utara pada dasarnya dapat dibagi atas:
       Pesisir Timur
       Pegunungan Bukit Barisan
       Pesisir Barat
       Kepulauan Nias
Pesisir timur merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya. Pada masa kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini termasuk residentie Sumatra's Oostkust bersama provinsi Riau.
Di wilayah tengah provinsi berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di pegunungan ini terdapat beberapa wilayah yang menjadi kantong-kantong konsentrasi penduduk. Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir, merupakan daerah padat penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada danau ini.
Pesisir barat merupakan wilayah yang cukup sempit, dengan komposisi penduduk yang terdiri dari masyarakat Batak, Minangkabau, dan Aceh. Namun secara kultur dan etnolinguistik, wilayah ini masuk ke dalam budaya dan Bahasa Minangkabau.
Pada dasarnya, bahasa yang dipergunakan secara luas adalah Bahasa Indonesia. Suku Melayu Deli mayoritas menuturkan Bahasa Indonesia karena kedekatannya dengan Bahasa Melayu yang menjadi bahasa ibu masyarakat Deli. Pesisir timur seperi wilayah Serdang Bedagai, Pangkalan Dodek, Batubara, Asahan, dan Tanjung Balai, memakai Bahasa Melayu dialek "o" begitu juga di Labuhan Batu dengan sedikit perbedaan ragam. Di Kabupaten Langkat masih menggunakan bahasa Melayu dialek "e" yang sering juga disebut bahasa Maya-maya. Mayarakat Jawa di daerah perkebunan, menuturkan Bahasa Jawa sebagai pengantar sehari-hari.
Di kawasan perkotaan, orang Tionghoa lazim menuturkan Bahasa Hokkian selain bahasa Indonesia. Di pegunungan, masyarakat Batak menuturkan Bahasa Batak yang terbagi atas empat logat (Silindung-Samosir-Humbang-Toba). Bahasa Nias dituturkan di Kepulauan Nias oleh suku Nias. Sedangkan orang-orang di pesisir barat, seperti Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Mandailing Natal menggunakan Bahasa Minangkabau.
Sumatera  Utara yang kaya dengan budaya adat istiadat dan keindahan alamnya.
Sumatera Utara kaya dengan berbagai adat budaya atau etnis yang beragam antara lain : Etnis Melayu, Batak Toba, Batak Karo, Batak Angkola, Batak Pakpak Dairi, Batak Simalungun, Nias, Etnis Sibolga Pesisir, dan etnis pendatang.
Semua etnis memiliki nilai budaya masing-masing, mulai dari adat istiadat, tari daerah, jenis makanan, budaya dan pakaian adat juga memiliki bahasa daerah masing-masing. Keragaman budaya ini sangat mendukung dalam pasar pariwisata di Sumatera Utara. Walaupun begitu banyak etnis budaya di Sumatera Utara tidak membuat perbedaan antar etnis dalam bermasyarakat karena tiap etnis dapat berbaur satu sama lain dengan memupuk kebersamaan yang baik. kalau di lihat dari berbagai daerah bahwa hanya Sumatera Utara yang memiliki penduduk dengan berbagai etnis yang berbeda dan ini tentunya sangat memiliki nilai positif terhadap daerah sumatera utara.
Kekayaan budaya yang dimiliki berbagai etnis yaitu :
Batak Toba dengan Tarian Tortor, Wisata danau toba, wisata megalitik (kubur batu), legenda (cerita rakyat), adat budaya yang bernilai tinggi dan kuliner. 

Batak Karo yang terkenal dengan daerah Berastagi dengan alam yang sejuk dan indah, penghasil buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah menembus pasar global dan juga memiliki adat budaya yang masih tradisional. 

Etnis Melayu yang terkenal dengan berbagai peninggalan sejarah seperti Istana Maimoon, tari derah dan peninggalan rumah melayu juga masjid yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. 

Batak Angkola yang terkenal dengan kultur budaya yang beragam, mulai dari tari daerah adat istiadat dan merupakan penghasil salak (salak sidempuan) yang juga sudah dapat menembus pasar global.

Batak Pakpak Dairi yang dikenal dengan peninggalan sejarah megalitik berupa mejan dan patung ulubalang dan tentunya juga memiliki adat istiadat dan tari daerah juga alat musik yang khusus.
Etnis Simalungun memiliki peninggalan sejarah berupa Rumah Bolon atau yang dikenal dengan Museum Lingga/Rumah Bolon yang pada tempat itu masih terdapat berbagai peninggalan sejarah dan etnis Simalungun juga memiliki adat istiadat dan budaya yang tersendiri. 
Etnis Nias memiliki daerah yang kaya dengan wisata alam yang sangat menakjubkan yang telah memiliki nilai jual hingga ke mancanegara, daerah ini juga memiliki kekayaan situs megalitik dan daerah ini masih tergolong daerah yang orisinal yang belum terlindas dengan kemajuan zaman karena didaerah ini masih banyak peninggalan megalitik seperti kampung batu, nilai budaya yang tradisional dan banyak lagi yang sangat bernilai tinggi, dan menurut cerita masyarakat setempat, daerah tersebut sudah direncanakan untuk dijadikan salah satu zona situs megalitik yang dilindungi dunia. 
Etnis Sibolga Pesisir ini juga memiliki berbagai budaya dan adat istiadat yang khusus yang juga memiliki nilai sejarah yang sangat berharga.
Dari semua etnis tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa Sumatera Utara memiliki kekayaan budaya dan etnis juga sejarah yang patut untuk diperhitungkan dan dijaga kelestariannya demi mengangkat martabat bangsa Indonesia di bidang Kebudayaan dan Pariwisata.
Budaya Sumatera Utara - Seni Kebudayaan Tradisional Propinsi Daerah Sumut. Sumatra Utara memiliki khasanah kekayaan budaya yang beraneka ragam. Kebudayaan daerah Sumsel tersebut meliputi adat istiadat, seni tradisional, dan bahasa daerah.
Di Propinsi Sumatera Utara terdapat beberapa suku yang mendiami propinsi tersebutdiantaranya adalah suku Melayu, suku Nias, suku Batak Toba, suku Pakpak, Karo, Simalungun, Tapanuli Tengah, suku Tapanuli Selatan yang terdiri dari suku Sipirok, suku Angkola, Padang Bolak, serta Mandailing, Namun ada juga pendatang seperti suku Minang, Jawa serta Aceh. Pendatang ini membawa kebudayaan serta adat-istiadatnya masing-masing.
Seni Budaya Sumatera Utara
Musik daerah Sumatera Utara
Sama seperti budaya daerah lainnya yang ada di Indonesia Sumatera Utara juga memilki musik yang khas daerah Sumse. Musik yang biasa dimainkan di Sumatra Utara ini tergantung dengan upacara-upacara adat yang diadakan di Sumut. Yang menjadi ciri khas adalah terdapat alunan musik genderang. Seperti misalnya pada Etnis Pesisir yang memiliki serangkaian alat musik yang sebut dengan Sikambang.
Tarian Budaya Sumatera Utara
Memiliki beraneka ragam seni tari tradisional yang terbagi beberapa macam. Ada yang bernuansa magis yang berupa tarian sakral namun ada juga yang sifatnya untuk hiburan saja yang berupa tari profan. Jenis tari adat Sumut merupakan bagian dari upacara adat, sedangkan tari sakralnya biasanya ditarikan oleh dayu-datu.
Beberapa tarian yang berasal dari Sumatera Utara adalah tari Tortor, morah-morah, parakut, sipajok, patam-patam sering dan kebangkiung, tortor nasiaran, tortor tunggal panaluan.

True Friend

Sepi rasanya ketika sahabat yang menjadi sandaran jiwa, pergi meninggalkan kita. akan ada ada pula rasa kehilangan tatkala dia tidak mau mengenal dan berelasi lagi dengan kita. Bahkan terasa pahit saat sahabat yang dulu baik bagaikan malaikat, kini menjelma menjadi seorang yang tidak berperasaan. Tapi apakah masih bisa dinamakan sahabat? apakah masih sahabat jika keberadaanku dianggapnya hanya sebuah hiburan? Aku tidak sekedar dari sebuah proyek yang ketika berjaya dan semua orang mengakui eksistensiku, ia ada di sampingku. Tapi ketika aku rapuh dan terpuruk, ia mencaci dan mencampakkanku bak onggokan sampah tak berguna…

“jangan sok perfect, deh…!” Dona begitu saja menghujamkan kata-kata itu. Membuatku terkesiap, dan tak lagi berselera dengan makanan yang ada di hadapanku. Tenggorokanku tecekat, mataku panas menahan tetesan-tetesan keperihan. Kata-kata Dona bagaikan angin di musim dingin, demikian lincah meliuk-liuk memasuki rongga pendengaranku. Dona melangkah meninggalkanku, hening.
Kini aku seperti tersesat di labirin tak bertepi. Setiap hari hanya bermuram dengan kenangan yang aku sendiri telah kehilangan jejaknya. Dingin musim hujan kurasakan bagai terik kekeringan di padang pasir yang mengharapkan oase.
Pukul 15:10. Langit telah kelabu, awannya bergelung-gelung tersapu angin. Suasana yang begitu khas di musim ini. Aku masih terpekur berdiri di pinggir jalan di sebuah perempatan. Beberapa kendaraan umum yang berlalu lalang sesekali menawarkan tumpangan. Namun kutolak karena aku masih malas untuk pulang. Aku merasa tak banyak yang bisa kulakukan di rumah selain mengurung diri di kamar. Pfiuhh… sebentang gerimis pun terberai dari langit. Disusul hujan yang berdesing melindap alam raya ini. Aku sendiri belum beranjak dari pijakanku, berteduh di depan sebuah kios fotokopi, saat tiba-tiba seseorang dengan jaket yang agak lepek menghampiriku…
“ehmm…” Azmi menyapaku. Aku melengos menahan senyum yang enggan kutampakkan padanya.
“kenapa, sih.. lagi ada masalah ya? Sharing aja lagi…” mata Azmi bergerak-gerak seperti mencari sesuatu. Tapi aku tetap tidak menghiraukan kata-katanya.
“jelek tuh kalau cemberut gitu, anggra?! anggra jelek…” Azmi meledek. Ada kemistri tidak tepat yang menghantam pikiranku. Membuatku ingin meledak di depannya. Aku hanya tersenyum miris, iba dengan kepolosan Azmi. Sahabatku yang paling tulus itu malah sering kuabaikan. Aku memang tidak tahu diri. Mengukir keburukan sahabat di atas batu, sedang mengukir kebaikannya di atas air.
“pulang kuliah?” tanyaku akhirnya. Azmi tersenyum mengangguk.
“kamu sendiri dari mana?”
“dari sanggar kerja…” Jawabku datar.
“ehh.. udah mau ashar, aku duluan, ya! Nanti sharingnya lewat sms aja, hehehe…” Azmi berlalu dengan sekilas senyum yang hangat. Kupandangi langkahnya hingga menghilang di balik jendela sebuah kendaraan umum.
Pukul 20:40. Kilat dan petir masih mengisyaratkan hujan takkan reda seketika malam itu. Perlahan lagu-lagu melankolis Opick mengalun dari winamp di laptopku. Tanpa sadar tanganku membuka file foto-fotoku saat SMA. Ada Dona yang tersenyum lebar sambil merangkul pundakku. Tapi aku sangat kenal, itu adalah Dona yang dulu. Yang pernah menjadi sahabat dekatku dan telah mengenalkanku pada banyak hal. Ia berubah semenjak aku menduduki posisinya di perusahaan sebuah majalah tempat kami bekerja. Dona diturunkan jabatannya lantaran ia pernah absen selama tiga minggu dari pekerjaannya tanpa alasan, bahkan ia tidak mau menceritakan apa masalah yang menimpanya. Mungkin ia tersinggung hingga semenjak itu ia bersikap acuh dan sinis padaku. Dan mungkin juga tadi siang adalah kata-katanya yang kudengar terakhir kali. I am quite. Aku ingin fokus di sanggar penulisan.
Handphoneku berdering dengan tune sms. Aku terkesiap membaca tulisan yang tetera di layarnya.
- assalamu alaikum ukhtiy… dah sholat isya? Pengirim: azmi.
Aku tak bisa untuk tidak membalas kali ini. Aku sadar belakangan ini sudah terlalu sering aku mengabaikan sahabat lamaku ini.
- waalaikum salam. Udah
- ya udah tenang aja! Jangan bad mood terus, selama ada sahabat kayak aku yang udah biasa jadi penampungan masalah…
- yah… sayangnya masalah-masalahku udah ditumpahin semua di kening sajadah
- bagus tuh… Dia kan Penghandle paling bijak?
- yoi.. eh mi, kenapa, sih kita harus membutuhkan sahabat?
- sahabat kan kayak “sampoerna ijo”: gak ada loe gak rame! Karena kalo udah sama sahabat bisa kayak XL: segala-galanya segila-gilanya… keberadaan sahabat sering seperti “mizone” membuat kita: be 100%. Pokoknya kayak “chitato” banget, deh: life is never flat…! Makanya selalu bareng sahabat bikin hidup terasa seperti “beng-beng”: asyiiik beratz.. iya gak?
- hakshakshaks… lagi jualan buu?
- maklum putri iklan… tapi nggra, sebenarnya punya sahabat itu bukan tujuan hidup kita. Kita harus tetap kuat dan tegar meski sahabat kadang gak bisa di samping kita. Asalkan kita selalu dekat dengan Dzat yang menguatkan kita
Aku terhenyak membaca sms Azmi. Ia benar…
- anggra… by the way kerudunganku yang warna krem masih sama kamu kan? Balikin donk…
- iya ada. Ntar ana anterin, deh…
- alhamdulillah.. lagian yang namanya anggra pake kerudungnya Britney spears juga masih tetep jelek kok…
- udah tau jelek masih jealous aja!
- yaaa coz sampai sekarang aku belum bisa ngalahin jeleknya kamu, hehehe…
- bagus, deh… mi kapan libur?
- ada, deh… nggra ntar kerudungnya anterin pagi ya
- yupz insya allah!
Sepuluh menit berlalu. Tak ada lagi sms yang masuk. Hujan perlahan reda, menyisakan suara gemeletuk di atap rumah. Aku tertegun, semua pelajaran seolah tercerna sudah. Seperti Sang Maha Baik telah memprogram semua di sekenario kehidupanku. Bahwa setelah seseorang pergi dari hidupku, seorang lagi merangkulku dengan cinta dan ketulusan.
Sudah tidak terlalu pagi, saat aku berangkat ke sanggar hari ini. Meski kurasa ini lebih awal dari biasanya. Karena aku harus ke rumah Azmi untuk mengembalikan kerudungnya. Mendung begitu nyaman di kening cuaca. Gemawan yang nyaris menutupi langit dan mentari yang hangat, serta daun-daun yang tersibak angin tak henti berguguran.
Aku tiba di depan rumah azmi yang sepi. Aneh, seperti tak berpenghuni. Aku mencoba mengetuk pintu, “assalamu alaikum…” Hening. Tak ada jawaban. Hanya riuh angin yang menyeret dedaunan. Aku mengulangi salamku. Tetap tak ada jawaban. Mataku mencari-cari ke sekeliling. Mungkin ada petunjuk apakah ada orang di rumah ini atau tidak. Tapi sesuatu menarik pandanganku. Sebuah amplop putih yang diselipkan di pohon bonsai di bawah jendela depan. Perlahan kubuka amplop surat itu..
Assalamu alaikum wr.wb.
Anggra sahabatku, maaf tidak bisa menemuimu hari ini. Kerudungnya biar menjadi kenang-kenagan saja. Maaf juga selalu bohong kalau kamu jelek. Aku hanya terkagum pada keanggunanmu yang selalu kamu balut dengan kerudung dan kerendahan hati.

Anggra sahabatku, ayahku meninggal tadi malam karena kecelakaan. Pemakamannya selesai tadi pagi. Aku terpaksa menghentikan langkahku untuk kuliah sampai di sini. Dan hari ini juga aku pindah bersama ibu dan adik-adikku ke kampung halaman di Lhokseumawe. Be strong friend! All things can be better when you change yourself to be better…
Wassalamu alaikum wr.wb.
Bogor, 24 september 2010
Yours,
Azmi Maulidya
Wangi mawar-mawar merah jambu yang ditanam di halaman menyemerbak, berhembus bersama guguran kelopaknya. Mengiringi tetesan air mataku yang membasahi surat Azmi. Kenyataan yang harus kuterima ini sudah cukup membuatku sadar, aku harus kuat. Yang Maha Baik telah menguatkanku lewat hamba-hambaNya yang hebat. Yang selalu bisa memberiku pelajaran berharga, yang ikut menata mozaik-mozaik dalam puzzle hidupku. Thanks Allah.
For my sweetheart in 6 NSP1. Accompanies a lot of thanks and tons of sorry. When you are wishing to be someone else, someone else in somewhere is wishing to be you..
Cerpen Karangan: Imam Nur Hidayat
Blog: Imamnurhidayat2.blogspot.com
http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/true-friend.html

PAYUNG MERAH

Pertengahan bulan November ini, bulan yang akan selalu aku banggakan karena aku sering bersamamu walau kau sendiri tidak tahu aku selalu ada untukmu. Awan yang melintas berwarna kelabu suram. Rintik demi rintik setiap bulir air mulai turun membasahi muka bumi. Membasahi setiap tempat yang meski menurut beberapa orang, tak akan terjamah air hujan.
Aku hanya menatap setiap titik air itu turun dari balik jendela kaca. Melihat hampa seraya bertopang dagu, tanpa merasa bosan dan lelah. Air hujan terus bergulir dari datarnya kaca jendela. Meninggalkan jejak air yang berderai. Hingga dirimu mulai memasuki ruang kelas dengan bagian sepatumu basah dan itu membuatku menoleh ke arahmu. Lalu kau melangkah menuju bangku kosong yang berada di sebelah kananku dan menaruh payungmu di bawah kursi kayu. Kau menatap ke arah bangkuku, tersenyum kecil di antara tatapan sendu itu.
“Kau kehujanan ya?.” Tanyaku.
Tapi kau tidak menjawab. Malah kau membuang muka dan kembali berbicara dengan beberapa teman perempuanmu. Aku sudah tahu dan aku memaafkanmu. Aku hanya bisa tersenyum.
“Kenapa tidak pakai jaket? Kan dingin?.” Tanyaku lagi.
Kau diam menatap lurus. Tak menjawab.
Bel berdering keras, membuat sebagian murid beringsut dan kembali ke bangku mereka. Guru wanita yang sangat aku rindukan melangkah masuk dan duduk di meja guru dengan tenang. Beliau mulai memeriksa kehadiran para siswa-siswinya. Namamu mulai terdengar, “Kasih Katarina.” Kau mengangkat tanganmu, seperti biasa.
Lalu tak lama, “Sonya Wangsah.” Namaku diseru oleh guru wanita itu. Aku juga mengangkatkan tanganku lalu tersenyum sekenanya.
Namun yang lain melihatku miris dan suasana kelas menjadi hening, tanpa ada gerak sedikit pun. Guru itu lantas menyerukan nama siswa lain. Aku sedikit bernapas lega. Pada kenyataan, dirimu juga menatapku. Matamu ikut berbinar, seperti senyumku. Tapi bukan berbinar senang. Ceruk matamu menahan lara. Aku ikut bersedih melihatmu. Tapi, pada kenyataannya aku kembali.
“Kita lanjutkan pembahasan minggu lalu, kemarin ibu juga belum sempat menyampaikan catatan penting.. coba kalian buka buku tulis kalian.” Titahnya di depan kelas.
Aku diam, tidak melakukan apa yang disuruhnya. Ia, guru itu. Melihatku dalam diam tanpa memarahiku, ia kembali berceloteh di depan muridnya. Aku diam. Diam. Terus diam sepanjang jam sekolah telah dimulai. Lagipula, tak akan ada yang memarahiku.
Jalanan setapak batu itu becek dan licin. Aku melangkah dengan waspada, siapa tahu kakiku tak sejalan sama dengan pikiranku. Sepanjang jalan setapak itu, semak belukar kecil menghiasi. Sesekali titik embun turun dari ujung daun itu. Ketika aku menemui sebuah pohon kayu berlengan kuat, aku segera berlari ke bawah naungan dedaunan rimbun miliknya.
Rintik kecil air kembali turun. Aku mendengus pelan, kesal. Namun rintik itu hanya sebentar. Aku kembali mengayunkan kedua kakiku. Dan kembali diam di tepian jalan. Aku sudah berjanji sama dengan janjimu. Tapi kenyataannya, kau tidak berjanji.
Aku berjalan di lorong beratapkan plafon yang rapuh beralaskan marmer berwarna gelap, melewati beberapa murid. Junior maupun senior. Seorang murid senior berjalan pelan ke arahku dengan gaya tersendiri. Tak sengaja bahuku menyapa bahunya. Itu kan tidak sengaja. Tapi aku tidak berkelit. Aku langsung meminta maaf, namun dia tolak. Sentakan-sentakan itu terus bergulir menghujam telinga dan diriku. Aku diam.
Kulihat, dari balik punggung si senior, dirimu hanya diam. Tak bergerak atau berucap. Itu bukan janjimu. Apakah kau munafik?. Kurasa tidak. Karena setelah itu kau berjalan menghampiriku.
Berjalan melaluiku.
“Junior enggak tahu malu!.” Bentak dia, seniorku.
Aku tersentak kaget. Dirimu ikut terkejut.
Aku hanya menunduk dan setelah kejadian itu semua berakhir, aku kembali berjalan membalik. Kau masih diam di ambang pintu kelas. Mata kita bertemu tatap, aku tersenyum padamu, tentu. Tapi kau nampak terkejut dan langsung melangkah masuk ke kelas.
Kau memilih berjalan pulang sendiri dengan awan kelabu menggantung. Dengan dua payung di dirimu. Satu payung mengembang di tangan kirimu. Satu payung kau simpan. Aku miris melihat sikap diammu.
Kau pergi.
Cukup lama aku berdiri memeluk diriku, di bawah pohon ini. Menanti karena ucapanmu, “Tunggulah aku di jalan yang sering kita lalui.”
Memang, ini jalan yang sering kita lalui tapi dulu. Ketika kata ‘diam’ tidak ada di hatimu. Aku melihat ujung sepatu hitamku, basah kuyup dengan sedikit noda tanah mengotori.
Aku tidak lagi basah. Aku tidak dingin. Aku menengadahkan kepalaku. Kau, dirimu berdiri dengan satu payung di tangan kirimu yang mengembang dan satu payung merah kau apit di lengan kananmu.
“Maaf, aku terlambat.” Lalu kau julurkan tangan kananmu dan kau berikan payung merah itu padaku. “Hanya ingin memberimu payung agar tidak kehujanan.”
– terlambat.
Aku sudah basah kuyup dan dingin.
Tapi tak ada guna aku marah. Senyumku terpatri untukmu. “Tak apa, akan kupakai. Terima kasih.” Hanya itu yang bisa ku katakan.
Kau kembali menggerakkan kakimu, kembali berjalan. Membelakangi diriku. Kau meninggalkanku. Walau payung merah ini sudah tak berguna, aku tetap memakainya. Aku melangkah pelan hingga rasanya aku sudah berada di ujung jalan, berlawanan dengan pohon besar itu. Melewati jalanan beraspal yang nampak sepi, kala itu.
Tapi aku tidak tahu, setelahnya. Setelah jiwaku meninggalkan ragaku, seketika. Pada hari itu. Dan payungmu, terbang dan terbuang entah kemana ia pergi. Aku hanya diam menutup mata pada waktu itu.
Itu kejadian lalu, di masa laluku.
Kini aku hanya berdiri diam di bawah pohon itu. Setelah setahun, tak melihatmu. Aku hanya kembali menaruh benda itu. Tadi, ketika aku di kelas pada hari baru ini. Ternyata namaku masih disebut. Begitu sayangkah, guruku?. Lalu apa kau rindu padaku?. Kurasa tidak. Karena kau hanya diam. Diam merindu diriku.
Aku berjalan kembali, menjauhi pohon besar itu. Berjalan ke arah persimpangan yang panjang dan sepi. Dimana seharusnya aku ada disitu.
Aku hanya menaruh, payung merahmu pada kaki pohon itu. Walau sedikit usang dan robek. Kurasa kau bisa memakluminya. Jika aku bisa berpesan, “Jangan rindukan aku, jika kau tidak ingin bersalah di kemudian hari.”
Aku pergi kembali. Selamanya.
Kau sedikit terkejut melihat payung merah itu. Tanpa kau sadari pelupuk matamu tak dapat lagi menahan derai air matamu. Itukah rindumu?.
Apa aku boleh berkata ‘Maaf, kau terlambat.’? Tidak. Aku tidak seburuk itu. Kau temanku. Kau boleh marah padaku, tapi aku tidak bisa marah padamu.
Karena kau teman terbaikku.
THE END
Cerpen Karangan: Luwina
http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/payung-merah.html
SELAMAT TINGGAL...
Cerpen Claudia Wirawan

Pagi ini, aku bangun gak seperti hari biasanya. Mataku terbuka tanpa aku mendengar suara alarm handphoneku yang sebelumnya tak pernah nihil untuk membangunkanku tiap pagi dan kulihat handphone mungilku masih tergeletak di samping bantal. Namun kupikir itu gak jadi masalah, soalnya aku masih bisa bangun tepat waktu. Cepat-cepat kusingkapkan selimutku dan segera melipatnya dengan rapi dan akupun segera beranjak ke kamar mandi. Selesai mandi, aku segera mengenakan seragam putih abu-abu’ku dan setelah itu aku beranjak ke rak sepatu dan segera memakai sepatu hitam bertali lengkap dengan kaos kaki putih.

Setelah persiapanku selesai, akupun keluar dari kamar. Kuturuni anak-anak tangga yang menghubungkan lantai atas dengan lantai bawah. “Aneh!!!”, pikirku dalam hati. Mulai kapan suasana rumahku jadi sunyi seperti saat ini???
“maaa….”, panggilku memecah kesunyian rumahku. Namun tak ada jawaban sama sekali. “Mungkin mama sedang pergi ke pasar.”, gumamku. Kucoba untuk memanggil papaku,mungkin papa belum berangkat ke kantor pikirku.
“paaa…papa…”,tak ada jawaban yang kudengar. “Apakah semuanya sedang tidak ada di rumah?”,gumamku lagi.
Lalu aku pun duduk di kursi meja makan dan kulihat tak ada satupun lembaran roti tawar dan selai coklat kesukaanku terletak di meja makan, tak seperti hari-hari biasanya. “ Apa mama terlalu sibuk hari ini sampe ‘ nggak nyiapin sarapan buat aku?”, gumamku yang masih heran dengan keadaan pagi ini. Namun sulit juga dipertanyakan, karena tak ada seorangpun yang bisa kucerca dengan berbagai pertanyaan dariku. Segera kuambil tas dan map plastik bergambar micky mouse yang sudah kusiapkan dan kuletakkan di atas ranjangku. Kemudian aku siap untuk berangkat sekolah seperti biasanya, meski tanpa aku berpamitan kepada papa dan mama. Segera aku menuju ke garasi dan kilihat mobil jazz putihku tak ada di tempat. Aku pun jadi bingung. “Kemana mobilku? Apa dipinjem papa? Tapi kok gak bilang ya?”, batinku dalam hati.Aaah, ya udah’lah, naek angkot juga bisa..
***

“Sopir angkot tu pada buta kali ya? Ada penumpang kok malah ngeloyor aja!! Udah panas-panas gini.”, gerutuku sambil mengusap keringat yang mulai membasahi keningku. ( Maklum gak pernah naek angkot,jeeng..!! hahaha..:-D). Namun tak berapa lama datang Tante Rina, tetanggaku, dan kusapa beliau, “ Tante”, sambil kubuka bibirku untuk menampilkan senyum manisku (Gula aja kalah manis...:-D). Namun tak kusangka, Tante Rina yang biasanya ramah sama aku, justru berbalik 180°. Tak ada jawaban satu kata pun darinya, senyum pun tak ada. Justru ia sibuk dengan handphonenya. Sepertinya handphonenya masih baru, mungkin karena itu Tante Rina jadi super cuek sama aku. Tapi ya sudahlah, kumaklumi. Dan aku konsentrasi lagi untuk menyegat angkot dan mulai melambai-lambaikan tanganku dengan gemulai. Setelah tiga angkot yang lewat tanpa mempedulikanku, akupun mulai menyerah. “Sulit banget sih nyegat angkot?!?!..”, gumamku dengan dongkol sambil mengusap dahi yang sudah berkeringat sebesar jagung. Kemudian kulihat Tante Rina melambaikan tangan untuk menyegat angkot dan angkot pun berhenti. Sesaat kupikir, “kenapa ya? Apa sopir-sopir angkot ne pilih-pilih kalo cari penumpang? Giliran Tante Rina aja yang nyegat,langsung berenti. Boro-boro aku, malah gak ada yang mau berenti”. Tapi ya sudahlah, kalu begini aku juga dapet untungnya. Akupun naik ke dalam angkot yang berwana biru itu. Aku sengaja duduk di sisi dekat pintu, karena aku suka mabok darat kalau naik angkot. Hehehe. Kulihat Tante Rina duduk di sisi pojok angkot dengan masih asyik sama handphone barunya dan sekali-sekali juga telepon. Jadinya kutahan mulut ini untuk menyapanya hingga mengganggu aktivitasnya dengan handphone baru tersebut. Hingga akhirnya sampailah di depan sekolahku dan akupun turun.

Kelas sepi banget, hampir semua teman-teman satu kelas tidak masuk dan yang ada hanya Sella, Risa, Dian, dan Oza serta aku yang duduk sendiri di baris ketiga dari depan dan berjarak agak jauh dari yang lainnya. Sengaja aku duduk berjauhan dari mereka, soalnya aku memang gak terlalu suka dengan mereka yang sok kaya dan hobbynya yang cuma shopping..shopping…dan shopping.. Tapi ya udah deh, biarin aja... Bel awal pelajaran pun berbunyi dan kulihat dari jendela terlihat Pak Danu menuju ke kelas. Dan sesampainya di kelas..
“ Assalamualaikum, anak- anak. Pagi ini suasana kelas sangat sepi ya. Mungkin lagi berduka semua akan kepergian teman kalian.”, sapa Pak Danu sambil meletakkan map serta buku-buku yang dibawanya ke atas meja.
“ Berduka karna siapa, Pak?”, tanyaku penasaran. Namun tak ada jawaban. Pak Danu justru mengajak berdoa untuk mengawali pelajaran.
“ Sialan!! Kok gak ada yang bilang sih kalo sekarang ini ada mbolos massal?!?!?”, celotehku kesal sambil menyalin tulisan Pak Danu di papan tulis. Di lain sisi, akupun juga memperhatikan Sella yang tak tahu kenapa hari ini terlihat murung ataupun sedih, begitupun dengan tiga sahabatnya. Akupun bertanya-tanya dalam hati, “kenapa tu anak-anak shopaholic mukanya pada sedih gitu ya?”, lalu “ mau nanya, males aahhh..biarin deh, emang aku pikirin.” . Kembali aku konsen untuk menulis catatanku lagi.
***

Pulang sekolah akupun berniat untuk mampir ke rumah Rizal, pacarku yang sudah mendampingi aku kurang lebih 3 tahun. Usianya memang cukup tua dibandingkan aku, kita terpaut usia 6 tahun. Namun bagiku itu tak jadi masalah, yang terpenting adalah ketulusan cintanya ke aku dan papa serta mama pun mendukung hubungan kami. Justru papa dan mama menyarankan agar Rizal segera menikahiku saat usiaku sudah 21 tahun, kira-kira masih 3 tahun lagi. Alasan yang sering dikemukakan adalah takut Rizalnya jadi tambah tua.Hahahaha…:-D

Akupun naik angkot lagi menuju rumah Rizal. Rasanya panas banget di dalam angkot meskipun hanya aku saja penumpang yang tertinggal satu-satunya di dalam angkot. Segera kuambil satu buah buku tulis yang lumayan tipis dan mulai kukipas-kipaskan ke wajahku untuk mengatasi suhu panas yang ada di dalam angkot ini. “ Gara-gara mobilku pake ng’ilang segala sih, jadi panas-panasan gini deh”, omelku.

Di perjalanan, ada satu hal yang menarik perhatianku. Setelah angkot yang kutumpangi melewati kantor polisi yang tidak jauh dari rumah Rizal, terlihat ada mobil yang kondisinya rusak banget plus peyok, “kayak’nya mobil ini baru kecelakaan deh, parah banget tuh sampai rusak berat gitu”, pikirku. Namun setelah kuterawang lebih jelas, mobil itu hampir sama dengan mobil yang biasa kukendarai kemanapun aku pergi. Mobil itu berwarna dasar putih, sama seperti kepunyaanku. Hanya saja mobil itu memiliki bercak-bercak coklat bekas cipratan lumpur dan ada sedikit bercak-bercak berwarna merah gelap hampir serupa dengan bekas darah yang telah mengering. Namun segera ku hilangkan pikiran itu karena aku sudah sampai di tempat tujuan.
Aku pun melompat dari angkot gila itu. “ Emang sopir angkot edaaan, gak lulus ujian SIM kali ya”, celotehku sambil membersihkan rok abu-abuku yang sedikit kotor gara-gara aku terjatuh pada saat turun dari angkot. Habisnya aku sudah bilang buat berhenti, tapi sopirnya tetep aja kenceng, akhirnya aku lompat deh. Tapi ada untungnya juga, aku jadi gak usah bayar.Hehehehehe….:-)

Gerbang putih yang sudah kusam itu terkunci dengan gembok berukuran sedang. “Tumben-tumbennya ne pager digembok. Apa Rizal lagi pergi kali ya?!?! Tapi kok gak sms aku sih?”, bisikku dalam hati. Aah ya sudah, lebih baik aku pulang ke rumah. “Mungkin jalan kaki lebih baik”, pikirku sambil bebalik meninggalkan rumah Rizal yang terlihat sepi.
***

Langkah menuju rumah pun udah gak seberapa jauh, kira-kira delapan rumah lagilah aku bisa sampai di depan rumah. Kupercepat langkahku karena aku sudah tak sabar untuk sampai di rumah. Tubuh yang sudah penuh dengan keringat serta tenggorokan yang mulai membutuhkan cairan pun semakin tak sabar untuk segera melepas semua kostum pelajarku dan mengisi mulutku dengan air putih yang segar. Namun kecepatan langkahku semakin berkurang. Kulihat banyak mobil dan sepeda motor yang terpakir tidak beraturan di pinggir jalan depan rumah.” Ada apa ya?”, tanyaku heran.
Entah kenapa hatiku serasa dag..dig..dug..saat aku melihat bendera putih berpalang hitam berkibar di atas pagar rumahku. Namun langkahku pun semakin cepat hingga kakiku telah melangkah masuk ke dalam pagar dan melihat banyak orang berkumpul di rumahku. “ Ada apa ini?”, tanyaku dengan perasaan yang tak karuan sambil melihat sekelilingku. Semua wajah hanya kaku tanpa ekspresi yang menunjukkan senyum yang berarti. Justru ekspresi sedih yang hanya ditampakkan. Kulihat Rani dan hampir semua temanku ada di sisi samping halaman rumahku. Kuhampiri mereka. “ Ran, ada apa ini? Siapa yang meninggal?”, tak ada jawaban sepatah katapun dari bibirnya yang tertutup rapat dengan wajah yang ditundukkan ke bawah.” Raaann..Kamu jawab dong..”,pintaku dengan mata yang mulai panas, entah karena apa.

Kupejamkan mataku sesaat untuk menetralkan keadaan mataku. Saat ku buka mataku kembali, kulihat Rizal duduk di sudut belakang halaman rumahku. Terlihat dari jauh bahwa ia sangat sedih. Kuhampiri Rizal dan semakin jelas di mataku bagaimana keadaan Rizal saat ini. Mata yang memiliki bulu mata yang lentik itupun mengeluarkan air matanya dengan deras hingga pipinya yang menggemaskan itu basah. Akupun merasa mataku kembali merasa panas karena melihat Rizal dengan keadaan seperti ini. Segera kuletakkan tas dan mapku disamping pot bunga bougenvil dan aku segera duduk disampingnya. “ Sayang, kenapa kamu nangis?”, tanyaku dengan suara yang agak sedikit bergetar. Tak ada jawaban sedikitpun dari bibirnya justru tangisnya yang semakin menderu.”Sayang..ada apa ini? Jawab dong, jangan bikin aku penasaran.”, tanyaku lagi dengan mata yang udah meneteskan air mata tanpa bias kubendung lagi dan ku sentuh tangan Rizal. Tapiii..
“ Tuhan, kenapa aku? Di mana ragaku? Kenapa aku gak bias menyetuhnya.”, rintihku sambil berdiri, kutinggalkan Rizal sendiri dan berjalan ke dalam rumah. Terlihat Papa sedang memeluk mama yang ternyata sejak tadi sudah menangis dan sesekali kulihat juga jatuh pingsan. Kulihat disisi kiri ruang tamu dan ternyata ada sesosok tubuh kaku berselimutkan kain putih, gadis yang malang. Tak lain itu adalah tubuhku. Ragaku telah mati dan jiwaku tak dapat lagi menghidupkannya. Kuhampiri ragaku dan tersungkur aku disisinya. “ Kini, aku tak lagi bisa membahagiakan papa sama mama. Aku tak lagi bisa mewujudkan mimpiku untuk menikah dan mendampingi Rizal serta menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku. Tuhan mengapa ini terjadi?”, tangisku membahana seluruh alam yang tak tahu harus kunamakan alam apa.
***

Teringat kejadian tadi pagi. Pagi-pagi benar sekitar pukul 04.00, aku bangun dan segera menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Setelah itu, segera ku berganti pakaian dengan t-shirt bergambar Donal Bebek, tokoh kartun kesayanganku dan celana selutut berwarna hitam. Tak lupa kukenakan sepatu olahragaku yang berwarna putih bervariasi dengan warna biru laut.

Tepat pukul 04.30, aku segera menuju garasi dan segera menghidupkan mobil jazz putihku dan pergi ke rumah Rizal. Pagi ini, aku memang punya janji untuk berolahraga pagi ke alun-alun kota, seperti hari-hari biasanya. Tak tahu kenapa ada sesuatu yang aneh terjadi pada mobil yang kukendarai ini. Dan setelah kusadari ternyata rem mobil’lu blong. Akupun panik, aku tak tahu harus bertindak apa?
“ Tuhan, tolong aku!!!!”, jeritku dalam kekalutanku di dalm mobil.
Namun dari arah berlawanan, kulihat sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi, akupun tak bisa menghindarinya. Akupun tertabrak. Entah bagaimana keadaanku selanjutnya. Yang kutahu, kini aku telah pergi untuk selama-lamanya. Meski aku telah tiada di dunia, tapi aku percaya. Aku akan tetap hidup di hati keluargaku dan di hati Rizal.
SELAMAT TINGGAL…


PROFIL PENULIS
Nama : Claudia Wirawan


http://eposlima.blogspot.com/2013/03/cerpen-sedih-selamat-tinggal.html